PERANAN IMAJINASI DALAM PENGAJARAN AGAMA

Oleh  : Salmaini Yeli

 

 

  1. Latar Belakang

Menghadapi era komunikasi dan informasi global sekarang ini peranan pendidikan menjadi sangat dominan, agar informasi-informasi yang diterima dapat disaring dan dipilah-pilah dengan mengambil mana yang baik dan membuang hal-hal  yang dianggap buruk. Pendidikan sebagai usaha untuk membentuk anak didik ke arah yang lebih baik memerlukan berbagai upaya agar usaha yang dilakukan dapat mencapai hasil yang diinginkan.

Berbagai upaya dilakukan oleh para ahli agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tuntutan yang telah digariskan dalam tujuan pembelajaran. Berbagai penelitian juga dilakukan untuk membantu agar para pelaku pendidikan/pembelajaran dapat menentukan kebijaksanaan apa yang baik dilakukan  untuk memenuhi tuntutan tuntutan tersebut.

Pada dasarnya banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar. Faktor anak didik apakah itu intelegensinya, emosi, atau imajinasinya banyak menentukan keberhasilannya dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Begitu pula faktor guru dan faktor teknis dan nonteknis lainnya.  Dalam pengajaran agama masalah yang dihadapi lebih pelik lagi karena banyak dari materi yang harus diterima anak bersifat abstrak, sementara daya serap anak terhadap masalah-masalah yang abstrak tersebut masih rendah. Oleh karena itu sangat penting diketahui bagaimana bayangan anak terhadap konsep tertentu sebelum mengisi memory mereka dengan konsep-konsep tersebut. Tulisan sederhana ini mencoba memberikan masukan tentang pentingnya pemanfaatan imajinasi anak dalam pengajaran pelajaran agama di sekolah-sekolah yang meliputi gambaran umum tentang apa itu imajinasi, bagaimana kaitannya dengan ingatan dan mimpi serta bagaimana peranannya dalam membantu keberhasilan proses pendidikan, terutama pendidikan agama.

II. Pengertian

Imajinasi merupakan kekuatan  pikiran  untuk mempertimbangkan  sesuatu yang tidak  diinderawi,   dan untuk  mempertimbangkan apa yang tidak mungkin  menjadi nyata. Imajinasi bertujuan mengikhtiarkan bentuk kombinasi  baru yang sifatnya lebih baik dan bertaraf  lebih tinggi,  berdasarkan  pengalaman  dahulu  untuk  maksud mengatasi  kesulitan  yang dihadapi  atau  menggariskan rencana-rencana baru yang konkrit dan lebih praktis.[1]

Imajinasi  merupakan  kemampuan  untuk  memanggil pikiran  atau gambaran seterusnya dari situasi,  proses objek-objek dan individual-individual yang tidak hadir. Menurut  Jung termasuk imaji-imaji  situasi  elementer, proses-proses, objek-objek atau orang-orang yang terlihat sebagai  “pengalaman  kolektif  manusia”   menurut dugaan  tanpa  pengalaman  khusus.  Imajinasi   kreatif adalah kombinasi elemen-elemen seni atau ilmu  ke dalam kesatuan-kesatuan  baru seperti karya-karya seni,  sistem-sistem filsafat atau hipotesis ilmiah dan  eksperimentasi yang direncakan.[2]

Imajinasi  membentuk  proses mental dalam bentuk :

  1. Membangkitkan imaji-imaji inderawi yang diperoleh dari persepsi-persepsi yang lebih awal (imajinasi reproduktif)
  2. Mengkombinasikan  imaji-imaji  elementer ke dalam  unit-unit   baru   (imajinasi   kreatif atau  imajinasi produktif. [3]

Sesuai dengan hlm. ini Immanuel Kant mengungkapkan bahwa salah satu tugas imajinasi adalah menyempurnakan data yang tidak lengkap  dari  panca indera karena manusia  tidak mungkin  menerima  semua  objek dalam  satu  kali penginderaan,  umpamanya  kita  tidak dapat  melihat  lebih dari tiga sisi kubus  dalam  satu kali penginderaan , namun kita berpikir bahwa ia memiliki  enam  sisi.  Penyempurnaan  persepsi  ini  disebut imajinasi  reproduktif.[4]

Pengertian lain  yang dikemukakan mengenai imajinasi adalah :

  1. Kemampuan untuk menghasilkan kesan-kesan dan menggabungkannya  kembali dalam  kombinasi-kombinasi  baru yang  berbeda dari kejadian sebenarnya dalam  realitas.
  2. Proses menghidupkan kembali persepsi-persepsi  sebagai gambar-gambar, mengubah dan menyusunnya ke dalam pola-pola atau kesatuan-kesatuan baru.
  3. Kemampuan untuk mengidealisasi atau mengobyektifkan pengalaman-pengalaman.
  4. Aktivitas menyusun gagasan (konsep, gamnbar,  model) yang  memberi pemahaman tentang  gejala-gejala  yang menjelaskannya.

Dalam  kaitannya dengan ingatan, imajinasi  memanfaatkan  bahan  dalam ingatan  dan  menyusunnya  dengan hukum  asosiasi sehingga memungkinkan  untuk  membentuk sesuatu yang baru dan berbeda dari apa yang  dihasilkan ingatan  tersebut. Sedangkan hubungannya  dengan  mimpi imajinasi berfungsi untuk menghadirkan kesadaran dengan rangkaian  gambar-gambar yang tampaknya  tidak  teratur dan  tuna arti. Sebagian besar gambar ini tidak  dikontrol oleh pemikiran logis dan pilihan bebas.[5]

Dalam menganalisis imajinasi manusia, terdapat dua kontradiksi,  yaitu dapat  meningkatkan  pengetahuan sekaligus  dapat  pula menghambat  kemajuan ilmu  pengetahuan. Imajinasi dikatakan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan jika imajinasi selalu diarahkan pada hal-hal yang tidak bernanfaat atau kurang banyak manfaatnya bagi kemajuan ilmu dan teknologi, sehingga seseorang akan terjebak di suatu tempat yang tidak dikenall oleh orang tersebut. Imajinasi tidak ada gunanya jika tidak diarahkan pada pembuktian di lapangan. Namun  poin  yang  lebih banyak  yang  diberikan oleh para filosof  adalah  pentingnya imajinasi dalam mencapai dan meningkatkan  ilmu pengetahuan. Imajinasi sangat membantu seseorang untuk menemukan konsep suatu objek penelitian sebelum suatu permasalahan diteliti. Selanjutnya imajinasi juga sangat membantu para peneliti membuat hipotesis-hipotesis dan analisis-analisis yang menarik dan jeli terhadap suatu objek kajian. Bila diamati lebih lanjut, maka  terlihat bahwa  imajinasi yang penting bagi  pengetahuan  adalah imajinasi kreatif atau produktif, sementara imajinasi yang semata berbentuk fantasi yang tidak disadari dan diarahkan bukan pada kemajuan ilmu pengetahuan akan  lebih banyak  menghambat  kemajuan  ilmu pengetahuan. Untuk lebih jelasnya pemikiran tokoh-tokoh filsafat  tersebut akan dikemukakan pemikiran  beberapa tokoh tersebut.

Aristoteles  (384  – 322  SM)  mengemukakan  bahwa imajinasi merupakan bentuk-bentuk yang dihasilkan  oleh sensasi  yang digerakkan dalam objek-objek  pisik  yang tidak  ada.  Memori merupakan kombinasi  imajinasi  dan sensus  communis (indera bersama). Ada  imaji  terhadap sesuatu ditambah kesadaran terhadap masa lampau. Imajinasi juga menyediakan hubungan antara pengetahuan dan perbuatan karena keinginan mensyaratkan imajinasi akhir yang  dicapai, yang mungkin disengaja jika  dipengaruhi oleh akal. Keinginan tergantung pada sensasi dan pikir.[6]

ST.  Augustinus  (354 – 430)  mengemukakan  bahwa proses mental menyangkut pemahaman, mimpi dan imajinasi adalah identik. Perbedaan antara sensasi dan  imajinasi adalah bahwa dalam sensasi suatu proses memenuhi  kebutuhan badaniah terlihat menemani proses mental,  sementara dalam imajinasi hlm. ini tidak ditemukan. Persepsi dan  imajinasi dapat dibedakan dalam pengalaman  denganmemperhatikan munculnya perhatian, kemunculannya melumpuhkan  imajinasi  kreatif dan  memastikan   bahwa  isi pikiran  memiliki beberapa macam hubungan  dengan  rasa jasmaniah dan dunianya.[7]

Maimonides  (1135 – 1204) mengatakan bahwa  imajinasi  lebih rendah daripada intelek. Imajinasi  membuat Nabi  mampu melihat mimpi-mimpi dan wahyu-wahyu  secara benar.[8]

Mulla  Sadra (1571/1572 – 1640) berpendapat  bahwa imajinasi  manusia  merupakan suatu  aspek  mikrokosmik dari  kosmik  imajinasi  dan  ia  persis  berada  dalam  domain  proses realita dirinya sendiri  yang  merupakan problem-problem akhirat yang filsuf-filsuf lebih awal memiliki solusi yang dapat dipahami.[9]

Thomas  Hobbes (1588 – 1679) menganggap  imajinasi secara  eksplisit  merupakan suatu deduksi  dari  hukum ketidakberdayaan. Ketika suatu kali  tubuh  bergerak, gerakannya  itu  juga menghalanginya. Oleh  karena  itu majinasi bukan apa-apa, namun merusak pikiran sehat.[10]

Thomas  Hobbes  membagi imajinasi ke  dalam  dua  tipe, yaitu  tipe  simpel seperti  perbuatan  seseorang  membayangkan  seseorang  atau  seekor  kuda  yang  dilihat sebelumnya, dan tipe gabungan seperti perbuatan seseorang membayangkan centaurus (makhluk setengah kuda setengah manusia) dengan menggabungkan penglihatan  terhadap seseorang dan kuda.[11]

David  Hume (1711 – 1776) mengatakan  bahwa  tidak ada yang lebih berbahaya daripada terbangnya imajinasi, dan  peristiwa yang paling keliru di antara para  filosof,  namun ia juga mengakui bahwa   pemahaman  sebagai hlm. yang lebih umum dan milik imajinasi yang tidak bisa dipungkiri.[12]

Bagi  William Blake (1757 – 1827) manusia  adalah kerja  atau  konstruksi imajinasi.  Dalam  konteks  ini tidak ada perbedaan antara esensi dan eksistensi  manusia  karena  imajinasi merupakan  eksistensi  sekaligus alam esensial manusia. Imajinasi menghancurkan  antitesis subjek dan objek. Manusia mulai sebagai intelegensi yang  terasing di dunia luar, namun  imajinasi  membuat dunia dalam imajinya sendiri.[13]

Samuel Taylor Coleridge (1772 – 1834)  mempertimbangkan  tiga  hlm.  dalam  imajinasi,  yaitu  imajinasi primer, imajinasi sekunder dan fantasi. Kekuatan imajinasi primer tidak khusus untuk penyair, namun merupakan standar  perlengkapan  psikologik  bagi  semua   orang. Imajinasi sekunder merupakan kemampuan khusus  penyair. Berbeda  dengan  imajinasi primer,  imajinasi  sekunder merupakan  kekuatan penyair menyatukan pengalaman  yang kacau  balau  ke  dalam seni  yang  berarti.  Sementara fantasi hanya merupakan kesatuan mekanik, peniruan yang paling baik daripada simbol, dan instrumen bakat menentang kecerdasan pikiran.[14]

Beberapa pemikiran filsuf di atas mengidentifikasikan imajinasi sebagai suatu yang sudah tidak diinderawi lagi, namun berdasarkan pada penginderaan dan persepsi juga, dan bersifat disengaja. hlm. ini membedakan imajinasi dari khayalan yang cendrung bersifat nihilisme tanpa ada dasar yang kuat dan  terjadinya sering tanpa disadari.

III. Imajinasi dan Memory (Ingatan)

Memori merupakan kombinasi imajinasi dan sensus communis (indera bersama). Ada  imaji  terhadap sesuatu ditambah kesadaran terhadap masa lampau. Imajinasi juga menyediakan hubungan antara pengetahuan dan perbuatan karena keinginan mensyaratkan imajinasi akhir yang  dicapai, yang mungkin disengaja jika  dipengaruhi oleh akal. Keinginan tergantung pada sensasi dan pikir.[15]

Drever mengemukakan memori (ingatan) sebagai berikut :

“Memory in the abstract and most general sense, that characteristic of living organisms, in virtue of which what they experience leaves behind effects which modify future experiences and behaviour, in virtue of which they have a history, and that history is recorded02 in themselves; than characteristic which underlines all learning, the essential feature of which is retention; in narraw sense it covers recall and recognition –what we call remembering- but there may be learning without remembering”.[16]

Senada dengan Drever Woodworth dan Marquis menggambarkan :

“Memory consists in remembering what has previously been learned. It would be better, however to say that memory consists in learning, retaining and remembering, what has previously been learned….. We have thus three main topics under the general head of memory: learning, retention, remembering”.[17]

Dengan demikian memory (ingatan) baru dapat terjadi jika suatu yang  pernah diinderawi diproduksi (dikeluarkan) kembali (remembering) ke permukaan.

Learning (mencamkan, memasukkan) adalah lekatnya kesan terhadap suatu objek sedemikian rupa sehingga tersimpan dan dapat direproduksi (dikeluarkan kembali). hlm. ini adakalanya terjadi dengan disengaja dan adakalanya pula terjadi secara tidak disengaja.[18]

Imajinasi  memanfaatkan  bahan  dalam memori dan  menyusunnya  dengan hukum  asosiasi sehingga memungkinkan  untuk  membentuk sesuatu yang baru dan berbeda dari apa yang  dihasilkan ingatan  tersebut. Sedangkan hubungannya  dengan  mimpi imajinasi berfungsi untuk menghadirkan kesadaran dengan rangkaian  gambar-gambar yang tampaknya  tidak  teratur dan  tuna arti. Sebagian besar gambar ini tidak  dikontrol oleh pemikiran logis dan pilihan bebas.[19]

Sesuatu yang ada dalam memori seseorang, apakah itu yang berasal dari sensasi (penginderaan), persepsi ataupun bentuk pengetahuan lainnya, dimanfaatkan oleh imajinasi untuk menumbuhkan suatu yang baru dan bisa jadi berbeda dengan apa yang telah dihasilkan ingatan (memori) tersebut. Seseorang yang pernah melihat pesawat umpamanya tidak akan mengatakan pesawat itu kecil, meskipun ia melihat pesawat tersebut amat kecil ketika berada di udara. Sebaliknya orang yang belum pernah mengenal pesawat akan berkesimpulan bahwa pesawat itu kecil, dan akan heran jika diberitahu bahwa benda yang kecil itu dapat memuat berpuluh orang di dalamnya.

Pada waktu tidur imajinasi menghadirkan kesadaran dengan rangkaian  gambar-gambar yang tampaknya  tidak  teratur dan  tuna arti. Sebagian besar gambar ini tidak  dikontrol oleh pemikiran logis dan pilihan bebas, hingga orang yang tidur tersebut akan mengalami mimpi. Biasanya peristiwa yang dialami dalam mimpi cendrung acak-acakan.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa memori (ingatan) dan imajinasi saling berkaitan, di mana memori (ingatan) akan berkembang dengan baik melalui imajinasi, sementara imajinasi bekerja dengan bantuan memori (ingatan) yang telah ada.

 

IV. Imajinasi dan Pendidikan Suatu Hubungan Timbal Balik

            Pendidikan sebagai sarana transmisi kebudayaan terhadap gerenasi penerus harus dapat diterima anak sebagai suatu yang menyenangkan, bukan suatu paksaan atau suatu yang menakutkan. Untuk itu pendidikan harus dikemas sesuai dengan keinginan anak dan apa yang dipikirkan anak ketika suatu tingkat kebudayaan tertentu ditransmisikan kepadanya.

Anak didik sebagai makhluk yang sedang berkembang mengarah pada fase kedewasaan memiliki pola pikir dan tingkat imajinasi yang berbeda dengan orang dewasa pada umumnya. hlm. ini menyebabkan anak sering tidak bisa sejalan dengan pemikiran dan keinginan orangtua (pendidik) sehingga anak didik akan selalu menjadi subjek yang disalahkan. Pada hlm. tidak sepenuhnya kesalahan dan kegagalan dalam proses pengajaran (pendidikan) berasal dari anak didik. Faktor guru dan pendekatan yang digunakan merupakan hlm. yang tidak dapat diabaikan.

Dalam pengelompokan siswa ke dalam kelompok tertentu hendaknya diperhatikan pula aspek anak dari segi perkembagannya. Taraf pemikiran dan tingkat imajinasi anak hendaknya menjadi kriteria tertentu untuk pengelompokkan anak ke dalam suatu kelas. Dengan cara ini akan lebih mudah bagi guru untuk menentukan pendekatan yang baik bagi siswa dan sisi pendidikan apa yang sebaiknya ditekankan pada siswa pada waktu tertentu. Dari sisi siswa akan dapat memberikan kegembiraan tersendiri bagi mereka dan akan terjadi persaingan yang sehat antar siswa.

Dari berbagai penelitian diketahui bahwa berhasil tidaknya suatu program pengajaran banyak dipengaruhi oleh persepsi siswa  terhadap materi yang diberikan. Pada hlm. persepsi cendrung tidak sempurna dan tidak selalu sama dengan objek yang sebenarnya. Imajinasi membantu menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang dimiliki persepsi, sehingga orang yang memiliki imajinasi yang baik akan mendapat hasil persepsi yang baik pula. Dengan demikian persepsi harus diiringi dengan imajinasi yang baik untuk hasil yang maksimal.

Sesuai dengan hlm. ini Immanuel Kant (1724 – 1804) mengemukakan  ada dua tugas imajinasi dalam meningkatkan pengetahuan. Tugas pertama adalah imajinasi  menyempurnakan data yang tidak lengkap  dari  panca indera.  Manusia  tidak mungkin  menerima  semua  objek dalam  satu  kali penginderaan,  umpamanya  kita  tidak dapat  melihat  lebih dari tiga sisi kubus  dalam  satu kali penginderaan , namun kita berpikir bahwa ia memiliki  enam  sisi.  Penyempurnaan  persepsi  ini  disebut imajinasi  reproduktif.  Fungsi imajinasi yang  ke  dua adalah  imajinasi produktif yang meningkatkan  sintesis transendental  dari  imajinasi,  yang  mengkombinasikan pengalaman ke dalam satu kesatuan yang saling berhubungan.[20]

Persepsi merupakan proses mental yang menghasilkan bayangan pada diri individu, sehingga dapat mengenal suatu obyek dengan jalan asosiasi dengan ingatan tertentu, baik melalui indera penglihatan, indera peraba dan sebagainya sehingga akhirnya bayangan itu dapat disadari.[21]

Dengan demikian antara persepsi dan sensasi mempunyai hubungan yang erat, di mana dengan persepsi  seseorang menafsirkan stimulus yang telah ada di otak yang diterima melalui sensasi (penginderaan) terhadap lingkungan.[22] Secara umum persepsi dipandang sebagai penafsiran dan pensintesaan terhadap sensasi-sensasi.[23]

Persepsi sering dikaitkan dengan pemahaman. Dalam hlm. ini persepsi diartikan sebagai pengetahuan intuitif langsung atau evaluasi atas ide dan situasi, kemampuan  untuk memiliki pengetahuan intuitif langsung atau kemampuan mengevaluasi ide atau situasi. [24]

Obyek persepsi adalah apa saja yang hadir pada kesadaran, termasuk data inderawi, gambaran (image), ilusi, visi, ide dan konsep.[25] Setidak-tidaknya ada tiga faktor besar yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap objek tertentu, yaitu faktor internal (seperti belajar, kelompok yang dipersepsi, perhatian, motivasi), faktor eksternal (pemisahan latar belakang figur, gerak, pengelompokan, ilusi) dan interaksi faktor internal dan eksternal.[26]

Persepsi menjalankan beberapa fungsi dalam proses kognisi, yaitu :

  1. Merefleksikan hubungan-hubungan terpisah yang melekat pada obyek-obyek dan proses-proses dunia luar.
  2. Memungkinkan mengangkat satu obyek seluruhnya dari lingkungan, dengan merefleksikannya sesuai dengan hukum kesamaan (similaritas) dan perspektif, sesuai dengan bentuknya, ukuran, jaringan luar dan letak-nya di dalam ruangan.
  3. Dapat menjadi suatu tanda bagi sifat-sifat lain, yang tidak dapat diamati pada obyek tersebut, kalau sebelumnya kita mengetahui hubungan antara persepsi-persepsi dan sifat-sifat (ciri-ciri) ini.
  4. Dapat berguna sebagai model bagi obyek-obyek lain yang tidak dapat diamati tetapi dalam beberapa hlm. sama dengan obyek yang sudah diamati tadi.
  5. Dapat berfungsi sebagai basis untuk membangun konsep-konsep kompleks.[27]

Ada beberapa teori tentang terjadinya persepsi pada diri seseorang. Di antaranya adalah teori kausal, teori kreatif, teori selektif dan teori representatif.[28]

Menurut teori kausal persepsi mempunyai dan disebabkan oleh obyek-obyek yang ada secara eksternal yang merangsang organ-organ indera kita.

Teori kreatif, konstruktif atau generatif mengemukakan bahwa persepsi-persepsi disebabkan oleh pikiran dan ada hanya sejauh pikiran memilikinya.

Menurut teori selektif persepsi merupakan komplek sensa yang dipilih oleh pikiran secara sadar atau tidak sadar dan dijadikan teratur.

Teori representatif mengemukakan bahwa :

  1. Obyek-obyek tidak tergantung (terpisah) dari ide-ide kita tentang obyek-obyek yang kita peroleh dari persepsi.
  2. Ide-ide kita tentang obyek mewakili, menyalin menghubungkan, memberikan kita suatu peta atau diagram dunia luar obyek-obyek.
  3. Obyek-obyek yang menyebabkan adanya ide-ide kita tentang obyek-obyek tersebut dengan merangsang secara fisik pada indera kita.
  4. Pikiran memproses rangsangan-rangsangan ini dalam kegiatan persepsi untuk membentuk ide-ide kita.

Para pengikut aliran Gestalt menyatakan bahwa di dalam persepsi kita cendrung untuk menyusun stimulus-stimulus sepanjang garis tendensi-tendensi alamiah tertentu yang mungkin berkaitan dengan fungsi menyusun dan mengkelompok-kelompokkan yang terdapat di dalam otak.[29]

Di antara psikolog masa kini berpendapat bahwa tendensi-tendensi alamiah merupakan hasil dari pengalaman yang dipelajari. Semua sependapat bahwa tendensi-tendensi tersebut ada dan mengikuti pola-pola yang hampir bersifat universal. Tendensi-tendensi ini dapat digolongkan kepada empat faktor, yaitu faktor similaritas, proksimitas, kontinuitas dan closure.[30]

Pada faktor similaritas obyek-obyek yang sama ukuran, bentuk atau kualitasnya besar kemungkinannya dipandang sebagai unsur-unsur yang tidak serupa. Pada faktor proksimitas obyek-obyek yang saling berdekatan cenderung untuk dikelompokkan di dalam persepsi kita. Pada faktor kontinuitas suatu obyek dipandang sebagai hlm. yang bersifat kontinue dan tidak terputus-putus. Sedangkan pada faktor closure terdapat tendensi untuk melengkapi pola yang belum lengkap.

Dalam proses pengajaran pendidikan agama pada anak, terutama usia pendidikan tingkat dasar di sekolah sering menghadapi kendala dalam menyampaikan hal-hal yang bersifat abstark, karena pemikiran anak belum sampai ke taraf yang disampaikan guru tersebut. Pemberian materi seperti ini malah dapat membuat anak menjadi bingung. Oleh karena itu sebelum menentukan topik bahasan yang berhubungan dengan masalah-masalah yang gaib, sebaiknya guru menjajaki terlebih dahulu bagaimana imaji (gambaran) anak tentang topik yang akan disampaikan itu. Umpamanya guru akan membahas topik tentang malaikat. Kata malaikat sebenarnya pernah didengar oleh anak baik dari orangtuanya atau masyarakat sekitar tempat ia tinggal, atau dari teman sepermainannya. Barangkali pula anak telah memiliki konsep tersendiri pula tentang malaikat tersebut, yang adakalanya jauh dari kebenaran, mungkin pula dekat dengan konsep yang sebenarnya. Dengan mengetahui secara umum bagaimana gambaran yang ada di benak siswa tentang malaikat tadi akan mudah bagi guru untuk menjelaskan mengenai malaikat. Dengan diketahuinya imajinasi anak guru dapat dengan mudah mengarahkan imajinasi tersebut ke arah yang sesungguhnya.

V. Pentingnya Imajinasi dalam Mencapai Keberhasilan Siswa

Pada dasarnya proses belajar mengajar hanyalah merupakan sarana untuk menghantarkan anak didik agar ia dapat mencapai tujuan pendidikan dengan baik. Dalam arti kata agar anak berhasil dan dapat mandiri. Dalam hlm. ini tugas pendidikan adalah mengupayakan agar seluruh potensi yang dimiliki anak didik tersebut dapat berkembang semaksimal mungkin. Dan salah satu potensi yang dimiliki anak didik tersebut adalah imajinasi.

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa imajinasi merupakan kemampuan  untuk  memanggil pikiran  atau gambaran seterusnya dari situasi,  proses objek-objek dan individual-individual yang tidak hadir.termasuk imaji-imaji  situasi  elementer, proses-proses, objek-objek atau orang-orang yang terlihat  sebagai  “pengalaman  kolektif  manusia”   menurut dugaan  tanpa  pengalaman  khusus. Dan  imajinasi   kreatif adalah kombinasi elemen-elemen seni atau ilmu  ke dalam kesatuan-kesatuan  baru seperti karya-karya seni,  sistem-sistem filsafat atau hipotesis ilmiah dan  eksperimentasi yang direncakan.[31] Dengan bantuan imajinasi seseorang mampu mengembangkan ilmu sehingga tidak mandeg di satu teori saja. Dengan  bantuan imajinasi pula orang mampu  memprediksi situasi beberapa bulan atau bahkan tahun berikutnya dengan melihat pada fakta yang ditemukan sekarang. Dengan bantuan imajinasi pula seseorang mampu memperkirakan berapa lama tahannya sebuah konstruksi bangunan dengan menggunakan bahan baku tertentu.

Dengan bantuan imajinasi anak didik akan dapat membayangkan materi-materi yang bersifat abstrak yang diajarkan guru agama meskipun ia belum pernah memiliki pengalaman inderawi tentang hlm. tersebut sebelumnya. Dengan demikian apa yang diterima oleh anak di sekolah tidak hanya diterima sebagai suatu cerita belaka yang hanya merupakan nihilisme belaka. Sehingga siswa tidak akan menganggap pelajaran agama sebagai suatu omong kosong belaka yang hanya bersifat khayalan tanpa realisasi yang konkret.

Dengan mengembangkan imajinasi siswa, berarti membantu siswa mengembangkan potensi-potensi yang ia miliki semaksimal mungkin. Dengan bantuan imajinasi anak belajar menghubungkan berbagi peristiwa yang dialaminya, dan dengan bantuan imajinasi pula anak belajar melihat suatu benda sesuai dengan benda itu, tidak hanya sesuai dengan penglihatannya.

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk melatih imajinasi siswa. Salah satunya menyuruh siswa mengisahkan pengalaman yang pernah dialaminya waktu mengunjungi suatu tempat. Atau memberi anak permainan edukatif dengan menyusun balok-balok menjadi berbagai bentuk. Dapat pula dengan menggambar beberapa bentuk gambar lalu menyuruh anak menambah bentuk berikutnya. Semakin dini anak diberi pelatihan untuk mengasah imajinasi ini semakin besar kemungkinan anak akan memiliki imajinasi yang baik sekaligus otak yang cemerlang dan berhasil dalam pendidikan. Upaya ini tidak hanya menjadi tanggungjawab para guru, namun harus pula diteruskan dan dimantapkan oleh orangtua di rumah.

  1. VI.  Kesimpulan dan Saran

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa hlm. pokok, yaitu bahwa imajinasi penting dalam menggiring siswa ke arah tujuan pendidikan. Imajinasi anak harus selalu dilatih agar terbiasa menemukan hubungan-hubungan antara beberapa aspek, peristiwa atau angka. Pendidik memiliki tugas untuk  mengembangkan imajinasi siswa ini, baik orangtua di rumah ataupun guru di sekolah.

Dalam pengajaran pendidikan agama masalah imajinasi menjadi lebih penting karena banyaknya maslah-masalah yang abstrak dan sukar dijelaskan dengan gamblang yang harus dijelaskan pada anak didik dalam pelajaran bidang studi agama, dan dapat memberi arah bagi kurikulum yang akan diajarkan kepada siswa hingga sesuai dengan imajinasi yang dimiliki siswa tersebut.

Demikianlah tulisan sederhana ini penulis coba sajikan, dengan harapan problem imajinasi ini dapat lebih diperhatikan, baik dalam operasional oleh guru di sekolah, maupun dalam pembuatan kurikulum itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Dagobert D. Runes, Dictionary of Philoshophy, New Jersey, Littlefield, Adams & Co, 1971.

Dakir, Dasar-Dasar Psikologi, Yogyakarta, Andi Offset, 1997.

Dimyati Mahmud, M., Psikologi Suatu Pengantar, Yogyakarta, BPFE, 1990

Drever, J. A Dictionary of Psychology, Baltimore, Pinguin Books Inc, 1960.

Edward, Paul, Encyclopedia of Philosophy,  1,  New  York, Collier Mac Millan, 1972, hlm. : 320

Edwards, Paul, Encyclopedia  of Philosophy 7,   New  York,   Collier  Mac  Millan  Publisher, 1972.

Edwards, Paul, Encyclopedia  of Philosophy  5,   New  York,  Collier  Mac  Millan,  1972.

Edwards, Paul, Encyclopedia of Philosophy  2,  New  York, Collier Mac Millan, 1972.

Edwards, Paul, Encyclopedia of Philosophy  4,  New  York, Collier Mac Millan, 1972.

Edwards, Paul, The Encyclopedia of Philoshopy 3, New York, Collier Mac Millan Publisher, 1972.

Eysenck, N. J.  & W. Arnold R. Meili,  Encyclopedia of  Psychology 2, London, Search Press, 1972.

Honderich, Ten, The Oxford Companion to Piloshophy, New York, Oxford  University Press, 1995.

Pringgodigdo, A.G.,  Ensiklopedi Umum,  Yogyakarta,   Kanisius,  1977.

Tim Penulis Rosda,  Kamus Filsafat, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1995.

Wiiting, Arno F.  and Gurney Williams III,  Psychology an Introduction, New York, McGraw-Hill Book Company, 1984.

Woodworth, R.S. & D. Marquis, Psychology, New York, Henry Holt and Company, 1957.


[1]   Ten Honderich,  The Oxford Companion to Piloshophy, New York, Oxford  University Press, 1995, hlm. : 395 ; A.G.  Pringgodigdo,   Ensiklopedi Umum,  Yogyakarta,   Kanisius,  1977, hlm. : 321.

[2]   N.  J. Eysenck & W. Arnold R. Meili,  Encyclopedia of  Psychology 2, London, Search Press, 1972, hlm. : 104.

[3]   Dagobert D. Runes, Dictionary of Philoshophy, New Jersey, Littlefield, Adams & Co, 1971, hlm. : 141.

[4]   Paul Edwards, The Encyclopedia of Philoshopy 3, New York, Collier Mac Millan Publisher, 1972, hlm. : 137.

[5]   Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. : 318.

[6]   Paul  Edwards,   Encyclopedia  of Philosophy 7,   New  York,   Collier  Mac  Millan  Publisher, 1972, hlm. : 3.

[7]   Paul  Edwards,  Encyclopedia of Philosophy  1,  New  York, Collier Mac Millan, 1972, hlm. : 200.

[8]   Paul  Edwards,  Encyclopedia  of Philosophy  5,   New  York,  Collier  Mac  Millan,  1972,  hlm. : 132 – 133.

[9]   Ibid, hlm. : 412.

[10] Paul  Edwards, Encyclopedia of Philosophy  4,  New  York, Collier Mac Millan, 1972, hlm. : 37.

[11] Lorens Bagus,  Op cit , hlm. : 320.

[12] Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy 3, Loc cit.

[13] Paul  Edward, Encyclopedia of Philosophy,  1,  New  York, Collier Mac Millan, 1972, hlm. : 320

[14] Paul  Edwards,  Encyclopedia of Philosophy  2,  New  York, Collier Mac Millan, 1972, hlm. : 136.

[15] Paul  Edwards,   Encyclopedia  of Philosophy 7,   New  York,   Collier  Mac  Millan  Publisher, 1972, hlm. : 3.

[16] J. Drever, A Dictionary of Psychology, Baltimore, Pinguin Books Inc, 1960, hlm. : 165.

[17] R.S. Woodworth & D. Marquis, Psychology, New York, Henry Holt and Company, 1957, hlm. : 542.

[18] Dakir, Dasar-Dasar Psikologi, Yogyakarta, Andi Offset, 1997, hlm. : 55.

[19] Lorens Bagus, Op cit, hlm. : 318.

[20] Paul Edwards,  The Encyclopedia of Philosophy 3, Loc cit.

[21] Pringgodigdo,  Opcit , hlm. : 866.

[22] M. Dimyati Mahmud, Dimyati, Mahmud M., Psikologi Suatu Pengantar, Yogyakarta, BPFE, 1990, hlm. : 41 ; Ted Honde-rich, Opcit, hlm. : 652.

[23] Tim Penulis Rosda,  Kamus Filsafat, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1995, hlm.  : 243.

[24] Lorens Bagus, Opcit, hlm.  : 830 ; Ibid.

[25] Lorens Bagus, Ibid.

[26] Lihat Arno F. Wiiting and Gurney Williams III,  Psychology an Introduction, New York, McGraw-Hill Book Company, 1984, hlm. : 322 – 335.

[27] Ibid, hlm. : 831.

[28] Ibid, hlm.  : 831-832 ; Tim Penulis Rosda, Opcit, hlm. : 244.

[29]  M. Dimyati Mahmud, Opcit, hal: 43.

[30]  Ibid, hlm. : 43 – 45.

[31]             N.  J. Eysenck & W. Arnold R. Meili,  Encyclopedia of  Psychology 2, London, Search Press, 1972, hlm. : 104.

Dipublikasi pada oleh salmainiyeli | Meninggalkan komentar

PENDIDIKAN

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

PSIKOLOGI

EMOSI

(Apa dan Bagaimana Mengendalikannya dalam Islam)

Oleh : Salmaini Yeli

I

Manusia sebagai makhluk yang unik memiliki banyak sisi yang dapat dan menarik dikaji dan diteliti, baik dari segi pisik maupun dari sisi psikis. Salah satu aspek psikis dalam diri manusia yang selalu menarik untuk dikaji adalah masalah yang berkaitan dengan perasaan.

Ketika mendapat anugerah kita cenderung untuk bersuka-ria dan menikmati anugerah tersebut dengan sepenuh hati. Pada saat seperti ini seseorang biasanya tertawa, atau bahkan menangis karena terharu (tangis bahagia). Sementara ketika suatu yang tidak diinginkan kita alami, maka kesedihanlah yang sering melanda diri kita yang pada umumnya terlihat dari tangisan, namun ada pula yang tertawa terbahak-bahak lalu kemudian lemas. Semua yang dialami ini dikenal dengan emosi. Dalam menghadapi emosi reaksi yang dimunculkan seseorang berbeda antara satu dan yang lainnya. Ada yang terkesan berlebihan, ada pula yang cenderung menyembunyikannya dari pandangan orang sehingga tidak ada satu orangpun yang mengetahui emosi yang dipendamnya, hingga emosi tersebut suatu saat meledak dalam bentuk aksi. Apapun bentuknya namun tidak dapat dipungkiri bahwa semua orang pernah mengalami gejolak jiwa yang disebut emosi ini.

Emosi sering diartikan sebagai perasaan yang memuncak, baik itu dalam bentuk perasaan sedih, gembira, kecewa, semangat, marah, benci dan cinta,[1] keadaan bergejolak, atau gangguan keseimbangan.[2] Reaksi emosial yang lain dapat pula berbentuk takut, khawatir, terkejut, marah, sedih, gembira dan heran.[3]

Oleh karena itu antara emosi dan perasaan tidak dapat dipisahkan. Apakah itu perasaan senang, atau sebaliknya, perasaan sedih. Emosi pada umumnya ditandai oleh perubahan-perubahan jasmaniah, seperti wajah memerah, mata melotot, atau menangis, jantung berdebar dan lain sebagainya. Pada tingkat tertentu bahkan dapat menimbulkan sakit pisik tertentu yang tidak diketahui penyebabnya dari segi kedokteran, seperti halusinasi, ilusi dan insomnia. Emosi dapat pula mempengaruhi prilaku seseorang pada waktu tertentu ketika ia mengalami emosi tersebut. Orang yang sedang emosi cenderung kurang bisa menguasai prilakunya secara normal. Hal ini sering dimanfaatkan para olahragawan untuk dapat mengalahkan saingannya dalam sebuah kompetisi karena jika emosi seorang pemain kurang terkontrol, maka sulit baginya untuk melakukan permainan terbaiknya. Terlepas dari semua itu harus pula diakui bahwa emosi adakalanya membuat orang yang mengalaminya tidak merasakan gangguan pisik yang sedang dialaminya. Lalu apa dan bagaimana sebenarnya proses timbulnya emosi?

II

Ada beberapa teori yang dikemukan para ahli sekitar bagaimana proses terjadinya emosi ini. Di antaranya yang dikemukakan oleh William James (1880). James mengatakan bahwa respon emosional bersifat instinktif. Perasaan, sensasi dan tingkahlaku emosional itu merupakan reaksi-reaksi bawaan terhadap stimulus tertentu. Teori ini dikenal dengan teori instink. Menurut teori ini stimulus-stimulus tertentu akan menimbulkan reaksi-reaksi bawaan tertentu terhadap stimulus tersebut. Takut misalnya, dianggap sebagai reaksi bawaan terhadap suara-suara gaduh, orang-orang yang belum dikenal, binatang-binatang asing, sendirian, gelap dan tempat-tempat yang tinggi.

            Berbeda dengan James, John B. Watson pendiri behaviorisme mengemukakan bahwa respon-respon yang dimiliki seseorang itu bukanlah bersifat instinktif, melainkan dipelajari.

Walter B. Cannon mengemukakan teori emergency yang mengemukakan bahwa gejolak emosi menyiapkan seseorang mengatasi keadaan yang genting. Orang yang rumahnya terbakar misalnya dapat membawa beban yang jauh lebih banyak di banding beban yang dapat dibawanya dalam keadaan normal. Seorang pemain sepak bola yang memiliki semangat bermain yang tinggi tidak merasakan sakit mesti kakinya terluka. Menurut teori ini emosi berguna bagi manusia untuk menghadapi masalah-masalah darurat. Bagi teori ini manusia mengalami emosi terlebih dahulu baru kemudian mengalami perubahan-perubahan dalam kejasmaniannya. Oleh karena itu teori ini juga dikenal sebagai teori sentral.

J. Linchoten mengemukakan teori kepribadian yang mengatakan emosi merupakan suatu aktivitas pribadi, di mana pribadi ini tidak dapat dipisah-pisahkan dalam jasmani dan psikis sebagai dua substansi yang terpisah. Karena itu maka emosi meliputi pula perubahan-perubahan kejasmanian.[4]

Teori-teori di atas menekankan bahwa emosi selalu diiringi dengan reaksi pisik berupa perubahan-perubahan jasmaniah yang terlihat dari raut wajah, keseimbangan pisik dan lain sebagainya. Emosi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat positif, maupun yang bersifat negatif. Dalam suatu pertarungan tinju umpamanya, lawan dapat memanfaatkan emosi musuhnya dengan cara memanas-manasi perasaan lawan, seperti yang terjadi pada Mike Tyson saat melawan Hollyfield sehingga Tyson yang emosinya terbakar lalu menggigit kuping Hollyfield, perbuatan yang sangat dicela di atas ring tinju, sehingga Tyson didiskualifikasikan. Sebaliknya emosi juga dapat diamanfaatkan ke arah positif, umpamanya teriakan-teriakan supporter yang mengelu-elukan nama tokoh idolanya, dapat meningkatkan semangat pemain olah raga.[5]

Dari beberapa teori yang dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa di samping sisi negatifnya emosi juga memiliki sisi positif. Namun efek-efek negatif yang ditimbulkannya jauh lebih banyak dari sisi positifnya. Oleh karena itu sebaiknya emosi selalu dikontrol oleh pikiran sehat sehingga efek-efek negatif yang ditimbulkannya dapat diatasi dengan baik dan tidak sampai menguasai diri individu yang sedang mengalami emosi tersebut.

 

III

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengendalikan emosi, yaitu :

  1. Menghadapi emosi dengan tenang dan apa adanya. Orang yang akan mengikuti suau tes wawancara umpamanya merasa takut karena belum tahu siapa yang akan mengetesnya dan apa yang akan diujikan sehingga ia cendrung merasa takut untuk menghadapi ujian tersebut. Sebenarnya ketakutannya itu melipatgandakan rasa takut itu sendiri. Namun jika ia tidak membayangkan hal yang buruk sebelum menghadapi sesuatu, maka rasa takutnya akan berkurang.
  2. Jangan memberikan penafsiran yang negatif terhadap situasi yang dihadapi. Seorang karyawan merasa takut ketika atasannya memanggil dan menyuruhnya ke kantor hanya karena ia menafsirkan panggilan atasannya dengan laporan yang baru diserahkannya yang mungkin salah. Namun jika ia menanggapi panggilan tersebut dengan sikap yang wajar tanpa menginterpretasikan ke arah negatif, maka rasa takut tersebut tidak akan dialaminya atau setidaknya berkurang.
  3. Alihkan perhatikan dari sumber penyebab emosi. Jika emosi tertentu dihadapi secara berlebihan dan dengan perasaan tegang, maka akan menimbulkan efek yang lebih burutk bagi pribadi yang mengalami emosi tersebut. Oleh karena itu sumber emosi harus dilenyapkan atau dilupakan. Seseorang yang merasa takut tidak lulus dalam suatu tes dapat mengalihkan perhatiannya pada belajar sehingga ia siap menghadapi tes-tes tersebut dan rasa takutnya akan lenyap.
  4. Menentukan sebab terjadinya emosi dan mengatasinya secara langsung. Seorang ibu yang mencemaskan anaknya karena terlambat pulang dapat mengatasi problemnya itu dengan mencari informasi tentang anaknya tersebut, apakah dengan menghubungi teman, pihak sekolah atau langsung mencarinya ke tempat yang dituju anaknya ketika pamitan dengannya.
  5. Menerima kenyataan dengan lapang dada. Seorang yang sedih karena ditinggal salah seorang orang yang dicintainya dapat keluar dari luapan emosi tersebut jika ia dapat menerima kenyataan bahwa kesedihannya tidak dapat menghidupkan kembali orang yang dicintainya, dan menerima kenyataan bahwa setiap orang pasti akan mati.

IV

                                                            Dalam Al-Quran dan hadis ada beberapa bentuk emosi yang sering disebutkan, di antaranya takut/cemas, marah, sedih, congkak/angkuh, malu, cinta, benci dan lain sebagainya. Ada beberapa bentuk penyelesaian yang dikemukakan Al-Quran dan hadis dalam menyikapi  emosi-emosi tersebut. Umpamanya dalam surah Al-Isra` ayat 31 dan 100 :

  Artinya : “Dan  janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Q.S., 17: 31)

Artinya : “Katakanlah kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya. Dan adalah manusia itu sangat kikir.” (Q.S., 17 : 100)

   
Ayat di atas menyebutkan emosi takut yang disebabkan oleh kekhawatiran pada kemiskinan. Dalam ayat 31 surah Al-Isra` tersebut Allah memberikan solusi dengan menenangkan perasaan orang yang takut miskin itu dengan mengatakan bahwa Dialah yang menentukan rezki seseorang (anak orang tersebut). Dengan meyakini bahwa rezki setiap orang telah diatur oleh Allah swt. dapat menenangkan emosi takut terhadap kemiskinan dan kekurangan yang dimiliki manusia. Emosi takut dalam konteks ayat ini berkonotasi negatif dan dapat mendorong orang yang mengalaminya kepada perbuatan yang tidak baik, yaitu membunuh. Berbeda dengan efek emosi takut yang dimuat dalam ayat 31 dan 100 surah Al-Isra` di atas, dalam surah Al-Mu`minun ayat 57 dijelaskan pula bentuk emosi yang sama (emosi takut), namun dengan efek yang positif, yaitu takut kepada Tuhan dari azab yang Ia berikan akan mendorong orang yang mengalami emosi tersebut untuk berbuat kebaikan.

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan  (azab) Tuhan mereka.” (Q.S., 23 : 57)

Sebab timbulnya emosi takut yang lain adalah adanya penguasa yang lalim karena khawatir penguasan tersebut akan berbuat aniaya kepadanya, seperti yang dijelaskan dalam surah Yunus ayat 83:


Artinya : “Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir`aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir`aun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S., 10 : 83)

Ayat di atas menyebutkan kelompok orang yang beriman kepada Musa takut jika Fira`un dan orang-orangnya akan menyiksa mereka. Karena Fir`aun dikenal sangat mencela orang muslim, dan mereka tahu pula bahwa Fir`aun merupakan pemimpin yang lalim dan sering berbuat aniaya terhadap rakyatnya. Dalam bagian lain seperti dalam surah Al-Ahqaf ayat 13 dikemukakan pula bahwa orang yang berkata bahwa “Tuhanku adalah Allah” dan istiqamah terhadap pendiriannya itu, maka orang ini akan terbebas dari emosi takut (cemas, khawatir) dan sedih.

            Dengan memahami ayat-ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa emosi dapat mengarahkan orang yang mengalaminya untuk melakukan suatu perilaku tertentu yang adakalanya positif dan adakalanya pula negatif. Takut miskin pada dasarnya dapat diarahkan ke arah prilaku positif, yaitu dengan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, namun dapat pula berakibat negatif jika emosi takut miskin tersebut menyebabkan orang itu membunuh untuk mengurangi beban tanggungjawabnya. Emosi-emosi cemas, takut, khawatir dan sedih tidak akan dialami oleh orang yang beriman kepada Allah dan istiqamah terhadap imannya tersebut. Syarat istiqamah nampaknya merupakan syarat yang tidak dapat dibantah, karena dalam realitas kehidupan sehari-hari banyak dijumpai orang yang percaya dan berkata bahwa Allah adalah Tuhan mereka, masih banyak mengalami kecemasan, kekhawatiran, ketakutan dan kesedihan. Namun agaknya sulit untuk mengoperasionalkan istiqomah dalam konsep yang baku, sehingga sulit untuk memastikan bahwa seseorang itu termasuk istiqomah atau tidak.

                Emosi lainnya yang juga dimuat dalam Al-Quran adalah emosi marah, seperti dalam surah Thaha ayat 86 :

Artinya : “Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa, “Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?” (Q.S.,  20 : 86)

Ayat di atas mengemukakan kondisi emosi Musa yang disebabkan oleh kaumnya yang mengarah pada perbuatan yang melanggar ajaran yang telah diajarkannya, pada hal mereka telah mengadakan perjanjian dengannya. Hal ini membuat Musa marah dan kecewa serta sedih hatinya melihat sikap pengikutnya. Dari peristiwa ini dapat ditarik kesimpulan bahwa emosi dapat pula disebabkan oleh orang-orang di sekitar kita. Dalam arti kata interaksi sosial dapat pula menjadi penyebab terjadinya emosi. Ayat di atas juga mengimplikasikan bahwa emosi manusia juga diperoleh dari Allah swt. dan Allah juga memiliki emosi. Pada ayat di atas disebutkan dua bentuk perasaan yang dirasakan Musa yang keduanya dapat dikategorikan sebagai emosi, yaitu marah dan kecewa (bersedih hati).  Dari kondisi ini dapat difahami bahwa satu emosi dapat menyebabkan terjadinya emosi yang lain pada orang yang mengalaminya.

Marah sebagai salah satu  bentuk emosi selalu diikuti oleh gejala-gejala pisik, seperti mata merah dan lain sebagainya. Dalam suatu riwayat dari Ibn ‘Arabi dan Ibn al-Qasim dikatakan pada saat marah tersebut bulu roma nabi Musa berdiri. Dikatakan pula bahwa marah bagaikan api yang menyala di dalam hati. Oleh karena itu nabi saw. menyuruh agar orang yang sedang marah berbaring,  jika marahnya tidak juga reda, maka dianjurkan agar ia mandi. Hal ini untuk menormalkan reaksi pisik yang dialami seseorang ketika mengalami emosi. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa nabi Muhammad saw. melarang seseorang marah dan mengulang larangannya tersebut sebanyak tiga kali menandakan bahwa marah sebagai salah satu bentuk emosi tersebut memiliki banyak efek negatifnya bagi diri seseorang.

Bentuk emosi yang lain yang dijumpai dalam Al-Qu’ran adalah sedih. Seperti yang dinyatakan dalam surat At-taubah ayat 92 dan surat Al-Qashas ayat 8 yang berbunyi :

Artinya : “dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu”, lalu mereka kembali sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (Q.S., 9 : 92)

   


Artinya :  “Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akhirnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.”

Dari ayat 92 surat At-taubah di atas dapat dilihat bahwa emosi sedih dapat terjadi karena apa yang diinginkan tidak terpenuhi atau tidak sesuai dengan kenyataan. Dan hal ini merupakan suatu hal yang bersifat manusiawi sehingga orang yang mengalaminya tidak dibebankan dosa, karena mengalami emosi kesedihan tersebut. Diriwayatkan pula Nabi Muhammad saw. dan salah seorang sahabatnya ketika berada di gua pada waktu dikejar-kejar tentara Quraisy menangkap sinyal ketakutan dan kesedihan dari sahabatnya mencoba meredakan emosi yang melanda sahabatnya tersebut dengan mengatakan “jangan takut dan jangan sedih, sesungguhnya Allah beserta kita.” Dari hal ini dapat pula ditangkap bahwa emosi dapat pula diatasi dengan mengingat keberadaan dan pertolongan Allah swt. terhadap hamba-hambaNya yang beriman kepadanya.

Dalam ayat 8 surat Al-Qashas dinyatakan penyebab kesedihan dari Fir’aun adalah karena kekecewaan terhadap Musa yang bertentangan dengan dirinya dalam hal aqidah. Kekecewaan di sini disebabkan karena kesalahan dan dosa Fir’aun sendiri.

Dengan demikian emosi sedih dapat terjadi karena beberapa hal, yang mungkin disebabkan oleh hal-hal yang bersifat positif dan mungkin pula disebabkan oleh hal-hal yang negatif. Hal positif yang mungkin menjadi penyebabnya adalah ketidakmampuan dan ketidakberdayaan seseorang untuk melakukan ibadah karena kekurangan yang ia miliki baik kekurangan jasmaniah maupun kekurangan yang bersifat materi. Hal negatif yang mungkin menjadi penyebab emosi sedih adalah kecongkakan pribadi, hingga kenyataan yang ada tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, sehingga menimbulkan kekecewaan dan kesedihan pada diri orang yang mengalaminya.

Demikianlah di antara beberapa bentuk emosi yang terdapat di dalam Al-Qur’an, dan barangkali masih banyak lagi bentuk emosi yang lain, namun tidak penulis uraikan dalam tulisan sederhana ini karena keterbatasan ruang dan waktu. Akhirnya semoga tulisan ini dapat berguna bagi penulis pribadi dan pembaca umumnya, saran dan kritik membangun terhadap tulisan sederhana ini sangat penulis harapkan.


DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Departemen Agama, Al-Quran dan terjemahannya

Dakir, Dasar-Dasar Psikologi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1993.

Hidayat, M. Adityawarman, Jika Emosi Petinju Terbakar Ketika “Bertarung”, Mawas Diri, 1988.

CD Multimedia Holy Qur’an

Mahmud, M. Dimyati, Psikologi Suatu Pengantar, Yogyakarta, BPFE, 1990.

Sartre, J. P., Sketch for A Theory of the Emotion, (Philip Mairet, transl.), London, Methuen & Co. Ltd, 1971.

Semmel Albin, Rochelle, Emosi Bagaimana mengenal, menerima dan mengarahkannya, (Sr. M. Brigid, OSF, penterjemah) Yogyakarta, Kanisius, 1995.

Walgito, Bimo, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta, Andi Offset, 1997.


[1]     Lihat Rochelle Semmel Albin, Emosi Bagaimana mengenal, menerima dan mengarahkannya, (Sr. M. Brigid, OSF, penterjemah) Yogyakarta, Kanisius, 1995, hal : 11

[2]     M. Dimyati Mahmud, Psikologi Suatu Pengantar, Yogyakarta, BPFE, 1990

[3]     Lihat Dakir, Dasar-Dasar Psikologi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1993, hal : 96 – 97.

 

[4]     Lihat M. Dimyati, Ibid, hal : 163-171; Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta, Andi Offset, 1997, hal : 141 – 145.

[5]     Lihat M. Adityawarman Hidayat,  “Jika Emosi Petinju Terbakar Ketika Bertarung”, Mawas Diri, 1988.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

AGAMA

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar