PERANAN IMAJINASI DALAM PENGAJARAN AGAMA
Oleh : Salmaini Yeli
- Latar Belakang
Menghadapi era komunikasi dan informasi global sekarang ini peranan pendidikan menjadi sangat dominan, agar informasi-informasi yang diterima dapat disaring dan dipilah-pilah dengan mengambil mana yang baik dan membuang hal-hal yang dianggap buruk. Pendidikan sebagai usaha untuk membentuk anak didik ke arah yang lebih baik memerlukan berbagai upaya agar usaha yang dilakukan dapat mencapai hasil yang diinginkan.
Berbagai upaya dilakukan oleh para ahli agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tuntutan yang telah digariskan dalam tujuan pembelajaran. Berbagai penelitian juga dilakukan untuk membantu agar para pelaku pendidikan/pembelajaran dapat menentukan kebijaksanaan apa yang baik dilakukan untuk memenuhi tuntutan tuntutan tersebut.
Pada dasarnya banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar. Faktor anak didik apakah itu intelegensinya, emosi, atau imajinasinya banyak menentukan keberhasilannya dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Begitu pula faktor guru dan faktor teknis dan nonteknis lainnya. Dalam pengajaran agama masalah yang dihadapi lebih pelik lagi karena banyak dari materi yang harus diterima anak bersifat abstrak, sementara daya serap anak terhadap masalah-masalah yang abstrak tersebut masih rendah. Oleh karena itu sangat penting diketahui bagaimana bayangan anak terhadap konsep tertentu sebelum mengisi memory mereka dengan konsep-konsep tersebut. Tulisan sederhana ini mencoba memberikan masukan tentang pentingnya pemanfaatan imajinasi anak dalam pengajaran pelajaran agama di sekolah-sekolah yang meliputi gambaran umum tentang apa itu imajinasi, bagaimana kaitannya dengan ingatan dan mimpi serta bagaimana peranannya dalam membantu keberhasilan proses pendidikan, terutama pendidikan agama.
II. Pengertian
Imajinasi merupakan kekuatan pikiran untuk mempertimbangkan sesuatu yang tidak diinderawi, dan untuk mempertimbangkan apa yang tidak mungkin menjadi nyata. Imajinasi bertujuan mengikhtiarkan bentuk kombinasi baru yang sifatnya lebih baik dan bertaraf lebih tinggi, berdasarkan pengalaman dahulu untuk maksud mengatasi kesulitan yang dihadapi atau menggariskan rencana-rencana baru yang konkrit dan lebih praktis.[1]
Imajinasi merupakan kemampuan untuk memanggil pikiran atau gambaran seterusnya dari situasi, proses objek-objek dan individual-individual yang tidak hadir. Menurut Jung termasuk imaji-imaji situasi elementer, proses-proses, objek-objek atau orang-orang yang terlihat sebagai “pengalaman kolektif manusia” menurut dugaan tanpa pengalaman khusus. Imajinasi kreatif adalah kombinasi elemen-elemen seni atau ilmu ke dalam kesatuan-kesatuan baru seperti karya-karya seni, sistem-sistem filsafat atau hipotesis ilmiah dan eksperimentasi yang direncakan.[2]
Imajinasi membentuk proses mental dalam bentuk :
- Membangkitkan imaji-imaji inderawi yang diperoleh dari persepsi-persepsi yang lebih awal (imajinasi reproduktif)
- Mengkombinasikan imaji-imaji elementer ke dalam unit-unit baru (imajinasi kreatif atau imajinasi produktif. [3]
Sesuai dengan hlm. ini Immanuel Kant mengungkapkan bahwa salah satu tugas imajinasi adalah menyempurnakan data yang tidak lengkap dari panca indera karena manusia tidak mungkin menerima semua objek dalam satu kali penginderaan, umpamanya kita tidak dapat melihat lebih dari tiga sisi kubus dalam satu kali penginderaan , namun kita berpikir bahwa ia memiliki enam sisi. Penyempurnaan persepsi ini disebut imajinasi reproduktif.[4]
Pengertian lain yang dikemukakan mengenai imajinasi adalah :
- Kemampuan untuk menghasilkan kesan-kesan dan menggabungkannya kembali dalam kombinasi-kombinasi baru yang berbeda dari kejadian sebenarnya dalam realitas.
- Proses menghidupkan kembali persepsi-persepsi sebagai gambar-gambar, mengubah dan menyusunnya ke dalam pola-pola atau kesatuan-kesatuan baru.
- Kemampuan untuk mengidealisasi atau mengobyektifkan pengalaman-pengalaman.
- Aktivitas menyusun gagasan (konsep, gamnbar, model) yang memberi pemahaman tentang gejala-gejala yang menjelaskannya.
Dalam kaitannya dengan ingatan, imajinasi memanfaatkan bahan dalam ingatan dan menyusunnya dengan hukum asosiasi sehingga memungkinkan untuk membentuk sesuatu yang baru dan berbeda dari apa yang dihasilkan ingatan tersebut. Sedangkan hubungannya dengan mimpi imajinasi berfungsi untuk menghadirkan kesadaran dengan rangkaian gambar-gambar yang tampaknya tidak teratur dan tuna arti. Sebagian besar gambar ini tidak dikontrol oleh pemikiran logis dan pilihan bebas.[5]
Dalam menganalisis imajinasi manusia, terdapat dua kontradiksi, yaitu dapat meningkatkan pengetahuan sekaligus dapat pula menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Imajinasi dikatakan menghambat kemajuan ilmu pengetahuan jika imajinasi selalu diarahkan pada hal-hal yang tidak bernanfaat atau kurang banyak manfaatnya bagi kemajuan ilmu dan teknologi, sehingga seseorang akan terjebak di suatu tempat yang tidak dikenall oleh orang tersebut. Imajinasi tidak ada gunanya jika tidak diarahkan pada pembuktian di lapangan. Namun poin yang lebih banyak yang diberikan oleh para filosof adalah pentingnya imajinasi dalam mencapai dan meningkatkan ilmu pengetahuan. Imajinasi sangat membantu seseorang untuk menemukan konsep suatu objek penelitian sebelum suatu permasalahan diteliti. Selanjutnya imajinasi juga sangat membantu para peneliti membuat hipotesis-hipotesis dan analisis-analisis yang menarik dan jeli terhadap suatu objek kajian. Bila diamati lebih lanjut, maka terlihat bahwa imajinasi yang penting bagi pengetahuan adalah imajinasi kreatif atau produktif, sementara imajinasi yang semata berbentuk fantasi yang tidak disadari dan diarahkan bukan pada kemajuan ilmu pengetahuan akan lebih banyak menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Untuk lebih jelasnya pemikiran tokoh-tokoh filsafat tersebut akan dikemukakan pemikiran beberapa tokoh tersebut.
Aristoteles (384 – 322 SM) mengemukakan bahwa imajinasi merupakan bentuk-bentuk yang dihasilkan oleh sensasi yang digerakkan dalam objek-objek pisik yang tidak ada. Memori merupakan kombinasi imajinasi dan sensus communis (indera bersama). Ada imaji terhadap sesuatu ditambah kesadaran terhadap masa lampau. Imajinasi juga menyediakan hubungan antara pengetahuan dan perbuatan karena keinginan mensyaratkan imajinasi akhir yang dicapai, yang mungkin disengaja jika dipengaruhi oleh akal. Keinginan tergantung pada sensasi dan pikir.[6]
ST. Augustinus (354 – 430) mengemukakan bahwa proses mental menyangkut pemahaman, mimpi dan imajinasi adalah identik. Perbedaan antara sensasi dan imajinasi adalah bahwa dalam sensasi suatu proses memenuhi kebutuhan badaniah terlihat menemani proses mental, sementara dalam imajinasi hlm. ini tidak ditemukan. Persepsi dan imajinasi dapat dibedakan dalam pengalaman denganmemperhatikan munculnya perhatian, kemunculannya melumpuhkan imajinasi kreatif dan memastikan bahwa isi pikiran memiliki beberapa macam hubungan dengan rasa jasmaniah dan dunianya.[7]
Maimonides (1135 – 1204) mengatakan bahwa imajinasi lebih rendah daripada intelek. Imajinasi membuat Nabi mampu melihat mimpi-mimpi dan wahyu-wahyu secara benar.[8]
Mulla Sadra (1571/1572 – 1640) berpendapat bahwa imajinasi manusia merupakan suatu aspek mikrokosmik dari kosmik imajinasi dan ia persis berada dalam domain proses realita dirinya sendiri yang merupakan problem-problem akhirat yang filsuf-filsuf lebih awal memiliki solusi yang dapat dipahami.[9]
Thomas Hobbes (1588 – 1679) menganggap imajinasi secara eksplisit merupakan suatu deduksi dari hukum ketidakberdayaan. Ketika suatu kali tubuh bergerak, gerakannya itu juga menghalanginya. Oleh karena itu majinasi bukan apa-apa, namun merusak pikiran sehat.[10]
Thomas Hobbes membagi imajinasi ke dalam dua tipe, yaitu tipe simpel seperti perbuatan seseorang membayangkan seseorang atau seekor kuda yang dilihat sebelumnya, dan tipe gabungan seperti perbuatan seseorang membayangkan centaurus (makhluk setengah kuda setengah manusia) dengan menggabungkan penglihatan terhadap seseorang dan kuda.[11]
David Hume (1711 – 1776) mengatakan bahwa tidak ada yang lebih berbahaya daripada terbangnya imajinasi, dan peristiwa yang paling keliru di antara para filosof, namun ia juga mengakui bahwa pemahaman sebagai hlm. yang lebih umum dan milik imajinasi yang tidak bisa dipungkiri.[12]
Bagi William Blake (1757 – 1827) manusia adalah kerja atau konstruksi imajinasi. Dalam konteks ini tidak ada perbedaan antara esensi dan eksistensi manusia karena imajinasi merupakan eksistensi sekaligus alam esensial manusia. Imajinasi menghancurkan antitesis subjek dan objek. Manusia mulai sebagai intelegensi yang terasing di dunia luar, namun imajinasi membuat dunia dalam imajinya sendiri.[13]
Samuel Taylor Coleridge (1772 – 1834) mempertimbangkan tiga hlm. dalam imajinasi, yaitu imajinasi primer, imajinasi sekunder dan fantasi. Kekuatan imajinasi primer tidak khusus untuk penyair, namun merupakan standar perlengkapan psikologik bagi semua orang. Imajinasi sekunder merupakan kemampuan khusus penyair. Berbeda dengan imajinasi primer, imajinasi sekunder merupakan kekuatan penyair menyatukan pengalaman yang kacau balau ke dalam seni yang berarti. Sementara fantasi hanya merupakan kesatuan mekanik, peniruan yang paling baik daripada simbol, dan instrumen bakat menentang kecerdasan pikiran.[14]
Beberapa pemikiran filsuf di atas mengidentifikasikan imajinasi sebagai suatu yang sudah tidak diinderawi lagi, namun berdasarkan pada penginderaan dan persepsi juga, dan bersifat disengaja. hlm. ini membedakan imajinasi dari khayalan yang cendrung bersifat nihilisme tanpa ada dasar yang kuat dan terjadinya sering tanpa disadari.
III. Imajinasi dan Memory (Ingatan)
Memori merupakan kombinasi imajinasi dan sensus communis (indera bersama). Ada imaji terhadap sesuatu ditambah kesadaran terhadap masa lampau. Imajinasi juga menyediakan hubungan antara pengetahuan dan perbuatan karena keinginan mensyaratkan imajinasi akhir yang dicapai, yang mungkin disengaja jika dipengaruhi oleh akal. Keinginan tergantung pada sensasi dan pikir.[15]
Drever mengemukakan memori (ingatan) sebagai berikut :
“Memory in the abstract and most general sense, that characteristic of living organisms, in virtue of which what they experience leaves behind effects which modify future experiences and behaviour, in virtue of which they have a history, and that history is recorded02 in themselves; than characteristic which underlines all learning, the essential feature of which is retention; in narraw sense it covers recall and recognition –what we call remembering- but there may be learning without remembering”.[16]
Senada dengan Drever Woodworth dan Marquis menggambarkan :
“Memory consists in remembering what has previously been learned. It would be better, however to say that memory consists in learning, retaining and remembering, what has previously been learned….. We have thus three main topics under the general head of memory: learning, retention, remembering”.[17]
Dengan demikian memory (ingatan) baru dapat terjadi jika suatu yang pernah diinderawi diproduksi (dikeluarkan) kembali (remembering) ke permukaan.
Learning (mencamkan, memasukkan) adalah lekatnya kesan terhadap suatu objek sedemikian rupa sehingga tersimpan dan dapat direproduksi (dikeluarkan kembali). hlm. ini adakalanya terjadi dengan disengaja dan adakalanya pula terjadi secara tidak disengaja.[18]
Imajinasi memanfaatkan bahan dalam memori dan menyusunnya dengan hukum asosiasi sehingga memungkinkan untuk membentuk sesuatu yang baru dan berbeda dari apa yang dihasilkan ingatan tersebut. Sedangkan hubungannya dengan mimpi imajinasi berfungsi untuk menghadirkan kesadaran dengan rangkaian gambar-gambar yang tampaknya tidak teratur dan tuna arti. Sebagian besar gambar ini tidak dikontrol oleh pemikiran logis dan pilihan bebas.[19]
Sesuatu yang ada dalam memori seseorang, apakah itu yang berasal dari sensasi (penginderaan), persepsi ataupun bentuk pengetahuan lainnya, dimanfaatkan oleh imajinasi untuk menumbuhkan suatu yang baru dan bisa jadi berbeda dengan apa yang telah dihasilkan ingatan (memori) tersebut. Seseorang yang pernah melihat pesawat umpamanya tidak akan mengatakan pesawat itu kecil, meskipun ia melihat pesawat tersebut amat kecil ketika berada di udara. Sebaliknya orang yang belum pernah mengenal pesawat akan berkesimpulan bahwa pesawat itu kecil, dan akan heran jika diberitahu bahwa benda yang kecil itu dapat memuat berpuluh orang di dalamnya.
Pada waktu tidur imajinasi menghadirkan kesadaran dengan rangkaian gambar-gambar yang tampaknya tidak teratur dan tuna arti. Sebagian besar gambar ini tidak dikontrol oleh pemikiran logis dan pilihan bebas, hingga orang yang tidur tersebut akan mengalami mimpi. Biasanya peristiwa yang dialami dalam mimpi cendrung acak-acakan.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa memori (ingatan) dan imajinasi saling berkaitan, di mana memori (ingatan) akan berkembang dengan baik melalui imajinasi, sementara imajinasi bekerja dengan bantuan memori (ingatan) yang telah ada.
IV. Imajinasi dan Pendidikan Suatu Hubungan Timbal Balik
Pendidikan sebagai sarana transmisi kebudayaan terhadap gerenasi penerus harus dapat diterima anak sebagai suatu yang menyenangkan, bukan suatu paksaan atau suatu yang menakutkan. Untuk itu pendidikan harus dikemas sesuai dengan keinginan anak dan apa yang dipikirkan anak ketika suatu tingkat kebudayaan tertentu ditransmisikan kepadanya.
Anak didik sebagai makhluk yang sedang berkembang mengarah pada fase kedewasaan memiliki pola pikir dan tingkat imajinasi yang berbeda dengan orang dewasa pada umumnya. hlm. ini menyebabkan anak sering tidak bisa sejalan dengan pemikiran dan keinginan orangtua (pendidik) sehingga anak didik akan selalu menjadi subjek yang disalahkan. Pada hlm. tidak sepenuhnya kesalahan dan kegagalan dalam proses pengajaran (pendidikan) berasal dari anak didik. Faktor guru dan pendekatan yang digunakan merupakan hlm. yang tidak dapat diabaikan.
Dalam pengelompokan siswa ke dalam kelompok tertentu hendaknya diperhatikan pula aspek anak dari segi perkembagannya. Taraf pemikiran dan tingkat imajinasi anak hendaknya menjadi kriteria tertentu untuk pengelompokkan anak ke dalam suatu kelas. Dengan cara ini akan lebih mudah bagi guru untuk menentukan pendekatan yang baik bagi siswa dan sisi pendidikan apa yang sebaiknya ditekankan pada siswa pada waktu tertentu. Dari sisi siswa akan dapat memberikan kegembiraan tersendiri bagi mereka dan akan terjadi persaingan yang sehat antar siswa.
Dari berbagai penelitian diketahui bahwa berhasil tidaknya suatu program pengajaran banyak dipengaruhi oleh persepsi siswa terhadap materi yang diberikan. Pada hlm. persepsi cendrung tidak sempurna dan tidak selalu sama dengan objek yang sebenarnya. Imajinasi membantu menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang dimiliki persepsi, sehingga orang yang memiliki imajinasi yang baik akan mendapat hasil persepsi yang baik pula. Dengan demikian persepsi harus diiringi dengan imajinasi yang baik untuk hasil yang maksimal.
Sesuai dengan hlm. ini Immanuel Kant (1724 – 1804) mengemukakan ada dua tugas imajinasi dalam meningkatkan pengetahuan. Tugas pertama adalah imajinasi menyempurnakan data yang tidak lengkap dari panca indera. Manusia tidak mungkin menerima semua objek dalam satu kali penginderaan, umpamanya kita tidak dapat melihat lebih dari tiga sisi kubus dalam satu kali penginderaan , namun kita berpikir bahwa ia memiliki enam sisi. Penyempurnaan persepsi ini disebut imajinasi reproduktif. Fungsi imajinasi yang ke dua adalah imajinasi produktif yang meningkatkan sintesis transendental dari imajinasi, yang mengkombinasikan pengalaman ke dalam satu kesatuan yang saling berhubungan.[20]
Persepsi merupakan proses mental yang menghasilkan bayangan pada diri individu, sehingga dapat mengenal suatu obyek dengan jalan asosiasi dengan ingatan tertentu, baik melalui indera penglihatan, indera peraba dan sebagainya sehingga akhirnya bayangan itu dapat disadari.[21]
Dengan demikian antara persepsi dan sensasi mempunyai hubungan yang erat, di mana dengan persepsi seseorang menafsirkan stimulus yang telah ada di otak yang diterima melalui sensasi (penginderaan) terhadap lingkungan.[22] Secara umum persepsi dipandang sebagai penafsiran dan pensintesaan terhadap sensasi-sensasi.[23]
Persepsi sering dikaitkan dengan pemahaman. Dalam hlm. ini persepsi diartikan sebagai pengetahuan intuitif langsung atau evaluasi atas ide dan situasi, kemampuan untuk memiliki pengetahuan intuitif langsung atau kemampuan mengevaluasi ide atau situasi. [24]
Obyek persepsi adalah apa saja yang hadir pada kesadaran, termasuk data inderawi, gambaran (image), ilusi, visi, ide dan konsep.[25] Setidak-tidaknya ada tiga faktor besar yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap objek tertentu, yaitu faktor internal (seperti belajar, kelompok yang dipersepsi, perhatian, motivasi), faktor eksternal (pemisahan latar belakang figur, gerak, pengelompokan, ilusi) dan interaksi faktor internal dan eksternal.[26]
Persepsi menjalankan beberapa fungsi dalam proses kognisi, yaitu :
- Merefleksikan hubungan-hubungan terpisah yang melekat pada obyek-obyek dan proses-proses dunia luar.
- Memungkinkan mengangkat satu obyek seluruhnya dari lingkungan, dengan merefleksikannya sesuai dengan hukum kesamaan (similaritas) dan perspektif, sesuai dengan bentuknya, ukuran, jaringan luar dan letak-nya di dalam ruangan.
- Dapat menjadi suatu tanda bagi sifat-sifat lain, yang tidak dapat diamati pada obyek tersebut, kalau sebelumnya kita mengetahui hubungan antara persepsi-persepsi dan sifat-sifat (ciri-ciri) ini.
- Dapat berguna sebagai model bagi obyek-obyek lain yang tidak dapat diamati tetapi dalam beberapa hlm. sama dengan obyek yang sudah diamati tadi.
- Dapat berfungsi sebagai basis untuk membangun konsep-konsep kompleks.[27]
Ada beberapa teori tentang terjadinya persepsi pada diri seseorang. Di antaranya adalah teori kausal, teori kreatif, teori selektif dan teori representatif.[28]
Menurut teori kausal persepsi mempunyai dan disebabkan oleh obyek-obyek yang ada secara eksternal yang merangsang organ-organ indera kita.
Teori kreatif, konstruktif atau generatif mengemukakan bahwa persepsi-persepsi disebabkan oleh pikiran dan ada hanya sejauh pikiran memilikinya.
Menurut teori selektif persepsi merupakan komplek sensa yang dipilih oleh pikiran secara sadar atau tidak sadar dan dijadikan teratur.
Teori representatif mengemukakan bahwa :
- Obyek-obyek tidak tergantung (terpisah) dari ide-ide kita tentang obyek-obyek yang kita peroleh dari persepsi.
- Ide-ide kita tentang obyek mewakili, menyalin menghubungkan, memberikan kita suatu peta atau diagram dunia luar obyek-obyek.
- Obyek-obyek yang menyebabkan adanya ide-ide kita tentang obyek-obyek tersebut dengan merangsang secara fisik pada indera kita.
- Pikiran memproses rangsangan-rangsangan ini dalam kegiatan persepsi untuk membentuk ide-ide kita.
Para pengikut aliran Gestalt menyatakan bahwa di dalam persepsi kita cendrung untuk menyusun stimulus-stimulus sepanjang garis tendensi-tendensi alamiah tertentu yang mungkin berkaitan dengan fungsi menyusun dan mengkelompok-kelompokkan yang terdapat di dalam otak.[29]
Di antara psikolog masa kini berpendapat bahwa tendensi-tendensi alamiah merupakan hasil dari pengalaman yang dipelajari. Semua sependapat bahwa tendensi-tendensi tersebut ada dan mengikuti pola-pola yang hampir bersifat universal. Tendensi-tendensi ini dapat digolongkan kepada empat faktor, yaitu faktor similaritas, proksimitas, kontinuitas dan closure.[30]
Pada faktor similaritas obyek-obyek yang sama ukuran, bentuk atau kualitasnya besar kemungkinannya dipandang sebagai unsur-unsur yang tidak serupa. Pada faktor proksimitas obyek-obyek yang saling berdekatan cenderung untuk dikelompokkan di dalam persepsi kita. Pada faktor kontinuitas suatu obyek dipandang sebagai hlm. yang bersifat kontinue dan tidak terputus-putus. Sedangkan pada faktor closure terdapat tendensi untuk melengkapi pola yang belum lengkap.
Dalam proses pengajaran pendidikan agama pada anak, terutama usia pendidikan tingkat dasar di sekolah sering menghadapi kendala dalam menyampaikan hal-hal yang bersifat abstark, karena pemikiran anak belum sampai ke taraf yang disampaikan guru tersebut. Pemberian materi seperti ini malah dapat membuat anak menjadi bingung. Oleh karena itu sebelum menentukan topik bahasan yang berhubungan dengan masalah-masalah yang gaib, sebaiknya guru menjajaki terlebih dahulu bagaimana imaji (gambaran) anak tentang topik yang akan disampaikan itu. Umpamanya guru akan membahas topik tentang malaikat. Kata malaikat sebenarnya pernah didengar oleh anak baik dari orangtuanya atau masyarakat sekitar tempat ia tinggal, atau dari teman sepermainannya. Barangkali pula anak telah memiliki konsep tersendiri pula tentang malaikat tersebut, yang adakalanya jauh dari kebenaran, mungkin pula dekat dengan konsep yang sebenarnya. Dengan mengetahui secara umum bagaimana gambaran yang ada di benak siswa tentang malaikat tadi akan mudah bagi guru untuk menjelaskan mengenai malaikat. Dengan diketahuinya imajinasi anak guru dapat dengan mudah mengarahkan imajinasi tersebut ke arah yang sesungguhnya.
V. Pentingnya Imajinasi dalam Mencapai Keberhasilan Siswa
Pada dasarnya proses belajar mengajar hanyalah merupakan sarana untuk menghantarkan anak didik agar ia dapat mencapai tujuan pendidikan dengan baik. Dalam arti kata agar anak berhasil dan dapat mandiri. Dalam hlm. ini tugas pendidikan adalah mengupayakan agar seluruh potensi yang dimiliki anak didik tersebut dapat berkembang semaksimal mungkin. Dan salah satu potensi yang dimiliki anak didik tersebut adalah imajinasi.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa imajinasi merupakan kemampuan untuk memanggil pikiran atau gambaran seterusnya dari situasi, proses objek-objek dan individual-individual yang tidak hadir.termasuk imaji-imaji situasi elementer, proses-proses, objek-objek atau orang-orang yang terlihat sebagai “pengalaman kolektif manusia” menurut dugaan tanpa pengalaman khusus. Dan imajinasi kreatif adalah kombinasi elemen-elemen seni atau ilmu ke dalam kesatuan-kesatuan baru seperti karya-karya seni, sistem-sistem filsafat atau hipotesis ilmiah dan eksperimentasi yang direncakan.[31] Dengan bantuan imajinasi seseorang mampu mengembangkan ilmu sehingga tidak mandeg di satu teori saja. Dengan bantuan imajinasi pula orang mampu memprediksi situasi beberapa bulan atau bahkan tahun berikutnya dengan melihat pada fakta yang ditemukan sekarang. Dengan bantuan imajinasi pula seseorang mampu memperkirakan berapa lama tahannya sebuah konstruksi bangunan dengan menggunakan bahan baku tertentu.
Dengan bantuan imajinasi anak didik akan dapat membayangkan materi-materi yang bersifat abstrak yang diajarkan guru agama meskipun ia belum pernah memiliki pengalaman inderawi tentang hlm. tersebut sebelumnya. Dengan demikian apa yang diterima oleh anak di sekolah tidak hanya diterima sebagai suatu cerita belaka yang hanya merupakan nihilisme belaka. Sehingga siswa tidak akan menganggap pelajaran agama sebagai suatu omong kosong belaka yang hanya bersifat khayalan tanpa realisasi yang konkret.
Dengan mengembangkan imajinasi siswa, berarti membantu siswa mengembangkan potensi-potensi yang ia miliki semaksimal mungkin. Dengan bantuan imajinasi anak belajar menghubungkan berbagi peristiwa yang dialaminya, dan dengan bantuan imajinasi pula anak belajar melihat suatu benda sesuai dengan benda itu, tidak hanya sesuai dengan penglihatannya.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk melatih imajinasi siswa. Salah satunya menyuruh siswa mengisahkan pengalaman yang pernah dialaminya waktu mengunjungi suatu tempat. Atau memberi anak permainan edukatif dengan menyusun balok-balok menjadi berbagai bentuk. Dapat pula dengan menggambar beberapa bentuk gambar lalu menyuruh anak menambah bentuk berikutnya. Semakin dini anak diberi pelatihan untuk mengasah imajinasi ini semakin besar kemungkinan anak akan memiliki imajinasi yang baik sekaligus otak yang cemerlang dan berhasil dalam pendidikan. Upaya ini tidak hanya menjadi tanggungjawab para guru, namun harus pula diteruskan dan dimantapkan oleh orangtua di rumah.
- VI. Kesimpulan dan Saran
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa hlm. pokok, yaitu bahwa imajinasi penting dalam menggiring siswa ke arah tujuan pendidikan. Imajinasi anak harus selalu dilatih agar terbiasa menemukan hubungan-hubungan antara beberapa aspek, peristiwa atau angka. Pendidik memiliki tugas untuk mengembangkan imajinasi siswa ini, baik orangtua di rumah ataupun guru di sekolah.
Dalam pengajaran pendidikan agama masalah imajinasi menjadi lebih penting karena banyaknya maslah-masalah yang abstrak dan sukar dijelaskan dengan gamblang yang harus dijelaskan pada anak didik dalam pelajaran bidang studi agama, dan dapat memberi arah bagi kurikulum yang akan diajarkan kepada siswa hingga sesuai dengan imajinasi yang dimiliki siswa tersebut.
Demikianlah tulisan sederhana ini penulis coba sajikan, dengan harapan problem imajinasi ini dapat lebih diperhatikan, baik dalam operasional oleh guru di sekolah, maupun dalam pembuatan kurikulum itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Dagobert D. Runes, Dictionary of Philoshophy, New Jersey, Littlefield, Adams & Co, 1971.
Dakir, Dasar-Dasar Psikologi, Yogyakarta, Andi Offset, 1997.
Dimyati Mahmud, M., Psikologi Suatu Pengantar, Yogyakarta, BPFE, 1990
Drever, J. A Dictionary of Psychology, Baltimore, Pinguin Books Inc, 1960.
Edward, Paul, Encyclopedia of Philosophy, 1, New York, Collier Mac Millan, 1972, hlm. : 320
Edwards, Paul, Encyclopedia of Philosophy 7, New York, Collier Mac Millan Publisher, 1972.
Edwards, Paul, Encyclopedia of Philosophy 5, New York, Collier Mac Millan, 1972.
Edwards, Paul, Encyclopedia of Philosophy 2, New York, Collier Mac Millan, 1972.
Edwards, Paul, Encyclopedia of Philosophy 4, New York, Collier Mac Millan, 1972.
Edwards, Paul, The Encyclopedia of Philoshopy 3, New York, Collier Mac Millan Publisher, 1972.
Eysenck, N. J. & W. Arnold R. Meili, Encyclopedia of Psychology 2, London, Search Press, 1972.
Honderich, Ten, The Oxford Companion to Piloshophy, New York, Oxford University Press, 1995.
Pringgodigdo, A.G., Ensiklopedi Umum, Yogyakarta, Kanisius, 1977.
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1995.
Wiiting, Arno F. and Gurney Williams III, Psychology an Introduction, New York, McGraw-Hill Book Company, 1984.
Woodworth, R.S. & D. Marquis, Psychology, New York, Henry Holt and Company, 1957.
[1] Ten Honderich, The Oxford Companion to Piloshophy, New York, Oxford University Press, 1995, hlm. : 395 ; A.G. Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, Yogyakarta, Kanisius, 1977, hlm. : 321.
[2] N. J. Eysenck & W. Arnold R. Meili, Encyclopedia of Psychology 2, London, Search Press, 1972, hlm. : 104.
[3] Dagobert D. Runes, Dictionary of Philoshophy, New Jersey, Littlefield, Adams & Co, 1971, hlm. : 141.
[4] Paul Edwards, The Encyclopedia of Philoshopy 3, New York, Collier Mac Millan Publisher, 1972, hlm. : 137.
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. : 318.
[6] Paul Edwards, Encyclopedia of Philosophy 7, New York, Collier Mac Millan Publisher, 1972, hlm. : 3.
[7] Paul Edwards, Encyclopedia of Philosophy 1, New York, Collier Mac Millan, 1972, hlm. : 200.
[8] Paul Edwards, Encyclopedia of Philosophy 5, New York, Collier Mac Millan, 1972, hlm. : 132 – 133.
[9] Ibid, hlm. : 412.
[10] Paul Edwards, Encyclopedia of Philosophy 4, New York, Collier Mac Millan, 1972, hlm. : 37.
[11] Lorens Bagus, Op cit , hlm. : 320.
[12] Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy 3, Loc cit.
[13] Paul Edward, Encyclopedia of Philosophy, 1, New York, Collier Mac Millan, 1972, hlm. : 320
[14] Paul Edwards, Encyclopedia of Philosophy 2, New York, Collier Mac Millan, 1972, hlm. : 136.
[15] Paul Edwards, Encyclopedia of Philosophy 7, New York, Collier Mac Millan Publisher, 1972, hlm. : 3.
[16] J. Drever, A Dictionary of Psychology, Baltimore, Pinguin Books Inc, 1960, hlm. : 165.
[17] R.S. Woodworth & D. Marquis, Psychology, New York, Henry Holt and Company, 1957, hlm. : 542.
[18] Dakir, Dasar-Dasar Psikologi, Yogyakarta, Andi Offset, 1997, hlm. : 55.
[19] Lorens Bagus, Op cit, hlm. : 318.
[20] Paul Edwards, The Encyclopedia of Philosophy 3, Loc cit.
[21] Pringgodigdo, Opcit , hlm. : 866.
[22] M. Dimyati Mahmud, Dimyati, Mahmud M., Psikologi Suatu Pengantar, Yogyakarta, BPFE, 1990, hlm. : 41 ; Ted Honde-rich, Opcit, hlm. : 652.
[23] Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1995, hlm. : 243.
[24] Lorens Bagus, Opcit, hlm. : 830 ; Ibid.
[25] Lorens Bagus, Ibid.
[26] Lihat Arno F. Wiiting and Gurney Williams III, Psychology an Introduction, New York, McGraw-Hill Book Company, 1984, hlm. : 322 – 335.
[27] Ibid, hlm. : 831.
[28] Ibid, hlm. : 831-832 ; Tim Penulis Rosda, Opcit, hlm. : 244.
[29] M. Dimyati Mahmud, Opcit, hal: 43.
[30] Ibid, hlm. : 43 – 45.
[31] N. J. Eysenck & W. Arnold R. Meili, Encyclopedia of Psychology 2, London, Search Press, 1972, hlm. : 104.